Rekayasa Lingkungan Untuk Perkembangan Sosial Anak Tuna Rungu (ATR)

Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula anak tunarungu, ia tidak terlepas dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi karena mereka memiliki kelainan dalam segi fisik, biasanya akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pada umumnya lingkungan melihat mereka sebagai pribadi yang memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan penilaian tersebut, anak tunarungu merasa benar-benar kurang berharga serta memberikan pengaruh yang benar-benar besar terhadap perkembangan fungsi sosialnya. Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini mengakibatkan pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosentris.

Faktor sosial dan budaya meliputi pengertian yang sangat luas, yaitu lingkungan hidup di mana anak berinteraksi yaitu interaksi antara individu-individu, dengan kelompok, keluarga, dan masyarakat. Untuk kepentingan anak tunarungu, seluruh keluarga, guru, dan masyarakat sekitar hendaknya berusaha mempelajari dan memahami keadaan mereka karena hal tersebut dapat menghambat perkembangan kepribadian yang negatif pada diri anak tunarungu. Kita harus berhati-hati jika ada pendapat bahwa ketunarunguan mengakibatkan kelainan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Kalaupun terjadi, hal ini bukanlah sebagai akibat dari kelainan itu semata. Sebab, kelainan fisik hanyalah merupakan variabel dalam kelainan psikologis. Jadi, bukanlah reaksi langsung, melainkan hanya akibat reaksi anak dan lingkungannya tidak memahami keadaan yang ada.

Anak tunarungu banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya, hal seperti ini akan membingungkan anak tunarungu. Anak tunarungu sering mengalami berbagai konflik, kebingungan, dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam lingkungan yang bermacam-macam. Sudah menjadi kejelasan bagi kita bahwa hubungan sosial banyak ditentukan oleh komunikaksi antara seseorang dengan orang lain. Kesulitan komunikasi tidak bisa dihindari. Namun bagi anak tunarungu tidaklah demikian karena anak ini mengalami hambatan dalam berbicara. Kemiskinan bahasa membuat dia tidak mampu terlihat secara baik dalam situasi sosialnya. Sebaliknya, orang lain akan lebih sulit memahami perasaan dan pikirannya.

Sebenarnya anak tunarungu akan jauh lebih baik dalam bersosialisasi dengan oranglain jika terdapat lingkungan yang mendukungnya. Dalam menguraikan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan sosial, akan ditekankan kepada pengaruh kelompok sosial yang pertama dihadapi manusia sejak ia dilahirkan. Oleh karena itu, harus ada rekayasa lingkungan yang relevan agar anak tunarungu dapat memaksimalkan proses tahapan dan tugas perkembangan sosialnya. Berikut ini rekayasa lingkungan yang seharusnya dilakukan :

Peranan keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat seorang anak belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Semua yang telah diuraikan mengenai interaksi kelompok keluarga yang merupakan kelompok primer, termasuk pembentukan norma-norma sosial internalisasi norma-norma, terbentuknya frame of reference, behaviorisme, dan lain-lain. Di dalam keluarganya, yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati, ia pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu membantu, dengan kata lain ia pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yan memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain.

Sikap dan kebiasaan orang tua dalam pergaulannya memegang peranan penting di dalamnya. Hal ini akan mudah diterima apabila keluarga itu sudah benar-benar mampu masuk menjadi bagian sebuah kelompok sosial dengan tujuan, struktur, norma, dinamika kelompok, termasuk cara-cara kepemimpinannya yang sangat mempengaruhi kehidupan individu yang menjadi anggota kelompok tersebut. Mengenai cara-cara kepemimpinan dalam kelompok yaitu dengan cara-cara demokratis, laissez-faire, dan otoriter yang masing-masing berpengaruh besar terhadap suasana kerja kelompok dan tingkah laku para anggotanya.

Begitu pula cara-cara bertingkah laku orang tua yang dalam hal ini menjadi pemimpin kelompok sangat mempengaruhi suasana interaksi keluarga dan dapt merangsang perkembangan ciri-ciri tertentu pribadi anaknya. Kemudian bjika seorang anak dididik dengan cara otoriter hasilnya banyak menunjukkan ciri-ciri pasivitas (sikap menunggu) dan menyerahkan segala-galanya kepada pemimpin, agresivitas, kecemasan, mudah putus asa, sikap penolakan terhadap orang-orang yang lemah atau terhadap minoritas, ikatan kepada orang-orang yang kuat atau mayoritas, menjiplak norma, dan tingkah laku mayoritas, sombong, mudah berprasangka sosial, khususnya terhadap golongan minoritas. Sedangkan keluarga-keluarga yang interaksinya bercorak demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, tidak penakut, lebih giat, dan lebih bertujuan, tetapi juga memberikan kemungkinan berkembangnya sifat-sifat tidak taat dan tidak menyesuaikan diri. Jika ada sikap-sikap orang tua yang overprotection di mana orang tua terlampau cemas dan hati-hati dalam mendidik anak.

Orang tua dalam hal itu senantiasa menjaga keselamatan anaknya dan mengambil tindakan yang berlebihan agar anak kesayangannya itu terhindar dari berbagai ancaman dan bahaya. Akibatnya anak itu berkembang dengan ciri-ciri sangat berketergantungan kepada orang tuanya dalam tingkah lakunya. Selanjutnya, sikap penolakan orang tua terhadap anak-anaknya, yaitu sikap menyesal dan tidak setuju karena beberapa sebab dengan adanya anaknya itu mudah mengembangkan ciri-ciri agresivitas dan tingkah laku bermusuhan pada anak-anak tersebut dan juga gejala-gejala menyeleweng seperti berdusta dan mencuri dapat berkembang karena sikap penolakan dari orang tuanya.

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa pada umumnya sikap-sikap pendidikan yang otoriter, sikap overprotection, dan sikap penolakan orang tua terhadap anak-anaknya dapat menjadi suatu kendala bagi perkembangan sosial anak-anak. Jika hal ini terjadi pada anak tunarungu yang notabene adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran sehingga mereka merasa berbeda dengan teman-teman pada umumnya maka yang terjadi adalah kesalahan perkembangan sosial pada anak tunarungu. Anak tunarungu tersebut akan menjadi anak yang sesuai dari akibat perkembangan dari orang tua yang dididik otoriter, overprotection, atupun sikap penolakan yang sudah dijelaskan di atas.

Pengalaman-pengalaman interaksi sosial dalam keluarganya turut menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan sosial di luar keluarganya, di dalam masyarakat pada umumnya. Apabila interaksi sosialnya di dalam kelompok-kelompok karena beberapa sebab tidak lancar atau tidak wajar, kemungkinan besar bahwa interaksi sosialnya dengan masyarakat pada umumnya juga berlangsung dengan tidak wajar. Jika dikaitkan dengan perkembangan sosial anak tunarungu, anak tunarungu akan mengalami tahapan perkembangan sosial yang baik jika pla asauh dalam keluarga dilakukan dengan baik. Sehingga anak tunarungu bisa meyelesaikan tahapan dan tugas perkembangan sosial dengan baik dan maksimal.

Peranan sekolah

Sekolah bukan hanya lapangan tempat orang mempertajam intelektualitasnya saja. Peranan sekolah sebenarnya jauh lebih luas. Di dalamnya berlangsung beberapa bentuk dasar dari kelangsungan “pendidikan” pada umumnya, yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan yang wajar, perangsang dari potensi-potensi anak, perkembangan dari kecakapan-kecakapan pada umumnya, belajar bekerja sama dengan kawan sekelompok, melaksanakan tuntunan-tuntunan dan contoh-contoh yang baik, belajar menahan diri demi kepentingan orang lain, memperoleh pengajaran, menghadapi saringan, yang semuanya, antara lain mempunyai akibat pencerdasan otak anak-anak seperti yang dibuktikan dengan tes-tes intelijensi.

Jika dikaitkan dengan tahapan dan tugas perkembangan sosial anak tunarungu yang berhasil maka seharusnya peranan sekolah bisa menjadikan anak-anak tuaanrungu tidak hanya menjadikan anak tunarungu yang pandai dalam hal pelajaran sekolah, namun juga bisa menjadikan anak tunarungu bisa berkembang sesuai dengan tahapan dan tugas perkembangan sosialnya sesuai usianya. Sebagai contoh. Pada usia 9 tahun seharusnya sudah bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya meskipun bukan sesama anak tunarungu. Karena pada umumnya anak tunarungu sulit untuk bergabung dengan teman-teman yang bukan sesama tunarungu. Oleh karena itu harus ada rekayasa lingkungan sekolah yang bisa mengajarkan kepada anak tunarungu tentang bersosialisasi dengan orang lain agar anak tunarungu tersebut bisa menyelesaikan tahapan dan tugas perkembangannya dengan baik.

Kerjasama antara guru dan orangtua

Salah satu upaya yang yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak tunarungu adalah dengan adanya pengertian dari orang tua/keluarga akan keberadaan anak tunarungu, dan adanya usaha kerjasama yang baik antara pihak sekolah dengan keluarga. Orang tua merupakan pendidik yang pertama dan penanggung jawab utama terhadap pendidikan anak tunarungu. Kita sering menemukan reaksi orang tua yang kurang mendukung pendidikan anaknya. Misalnya terlalu memanjakan, mengabaikan, putus asa. Sikap-sikap orang tua yang demikian sangat berpengaruh pada situasi pendidikan anak di sekolah. Oleh karenanya peranan orang tua sangatlah penting dan dibutuhkan sekolah untuk menunjang keberhasilan anaknya.

Beberapa peran orang tua anak tunarungu antara lain:
1.      Pengertian orang tua merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pendidikan anaknya.
2.      Orang tua memegang peranan penting dalam melaksanakan pendidikan di rumah sejalan dengan yang diberikan di sekolah.
3.      Orang tua berperan dalam hubungan kerjasama antara sekolah dan keluarga ataupun dengan masyarakat terutama dalam peningkatan atau pengadaan alat-alat dan kesejahteraan guru.
4.      Dengan terbentuknya suatu wadah kerjasama (BP3) akan mempermudah usaha-usaha orang tua akan aspirasi pendidikan anak-anaknya. Wadah ini juga akan dapat sebagai alat untuk memperkenalkan keberadaan anak tunarungu pada masyarakat. (Orped:1990).

Selanjutnya seorang petugas bimbingan ataupun guru, harus memiliki latar belakang pengetahuan mengenai dinamika tingkah laku anak tunarungu. Pengetahuan ini diperlukan untuk dapat memahami kepribadian setiap anak. Seorang guru harus menyadari bahwa efek dari masalah yang sekunder ketunarunguan lebih berat atau sukar ditangani dari pada ketunarunguannya.

Pelaksanaan bimbingan bagi anak tunarungu mengharapkan seorang konselor harus mampu membangkitkan kepercayaan dirinya, berfikir baik dan berinteraksi sosial dengan lingkungan tempat di mana anak tinggal atau hidup, dengan demikian secara bertahap tentu kepribadiannya dapat dikembangkan, dan diharapkan dia mampu mengambil suatu keputusan, sehingga tidak dihinggapi oleh kecemasan yang berlebihan, kecurigaan yang tingi, serta anak tunarungu betul-betul dapat menerima dan mengerti batas-batas kemampuannya tanpa penyesalan atau rasa rendah diri. Para pendidik diharapkan mampu memberikan bantuan pada anak tunarungu dengan mengarahkan mereka pada lembaga bimbingan sebagai bimbingan tambahan. Seorang konselor/ pendidik apabila menemui masalah-masalah atau kesulitan dalam hal kebahasaan atau komunikasi dengan anak tunarungu, maka ia dapat menggunakan jasa penterjemah bahasa anak tuanarungu.
Peranan lingkungan sekitar/lingkungan hidup

Lingkungan hidup adalah tempat di mana seseorang menjalani hidupnya dengan orang lain. Jika lingkungannya baik, hasilnya adalah individu menjadi baik. Baik dalam segi perilaku maupun baik secara perkembangan sosialnya. Namun sebaliknya, jika individu terdapat dalam lingkungan yang buruk, maka seseorang akan tumbuh dan berkembang sosialnya menjadi buruk pula itu artinya tahapan dan tugas perkembangannya telah gagal.
Perkembangan sosial anak tunarungu juga sangat ditentukan oleh lingkungan. Anak tunarungu cenderung memiliki sifat egosentris, suka berkelompok sesama tunarungu, cemas, mudah berprasangka jelek, dan lain-lain yang negatif terhadap orang lain. Kenapa hal ini terjadi?

Hal ini terjadi karena gangguan pendengarannya menyebabkan orang lain tidak bisa memahami dirinya. Oleh karena itu harus ada rekayasa lingkungan untuk mengatasi hal ini yaitu lingkungan harus bisa menyamakan kedudukan anak tunarungu. Khususnya masyarakat harus bisa memahami bahasa mereka, baik itu bahasa isyarat naupun bahasa oral mereka. Jika bahasa anak tunarungu tersebut dipahami niscaya anak tunarungu juga tidak akan mengurung diri justru mereka akan menjadi anak yang percaya diri, bisa bergabung dengan kelompok-kelompok lain yang bukan sesama anak tunarungu. Lingkungan yang baik seharusnya tidak mengolok-olok keadaan mereka justru malah memberikan semangat kepada anak tunarungu bahwa ketunarunguan bukanlah akhir dari segalanya. Justru kita harus memanfaatkan keadaan di balik ketunarunguan.

Peranan media massa

Apakah benar media massa berpengaruh kepada perkembangan sosial anak tunarungu? Ternyata jawabannya adalah benar meskipun presentase pengaruh tidak sebesar keluarga, sekolah maupun lingkungan. Mengenai pengaruh media massa terhadap perkembangan sosial khususnya anak tunarungu adalah apa dan bagaimana pengaruh negatif dari frekuensi menonton bioskop, melihat televisi, maupun membaca komik dan majalah.

Sebuah penelitian mengenai pengaruh sering menonton televisi pada anak-anak. Evry, 1952 (4), mendapatkan bahwa 33,3% anak-anak yang sering menonton televisi oleh gurunya dinilai sebagai anak yang tidak tenang (gelisah). Sedangkan Lewis (11) memperoleh hasil bahwa anak-anak yang menonton televisi lebih dari 11-15 jam seminggu akan mengalami penurunan prestasi mereka di sekolah. Namun tampak bahwa terpaan orang terkena komunikasi massa itu sendiri belum mempunyai akibat yang cukup tegas. Jadi, rupanya bukan frekuensi yang menentukan adanya pengaruh tertentu, melainkan isi dari film. Buku, atau ceramah itulah yang lebih mempengaruhi perkembangan sosial seseorang.
Selain pengaruh-pengaruh negatif dari media massa yang dijelaskan di atas. Jika anak tunarungu berada pada situasi ini, yaitu misalkan ia terlalu sering menonton TV. Karena gangguan pendengarannya sehigga ia hanya melihat saja tayangan-tayangan yang ada di dalam televisi tanpa mendengar apa yang dibahas. Bisa jadi, anak tunarungu tersebit akan salah presepsi terhadap perilaku yan ditayangkan. Misalkan adegan memukul, adegan marah, adegan mengurung diri, dan hal-hal negatif lainnya yang bisa diimitasi oleh anak tersebut.

Oleh karena itu media massa seharusnya mendesain sedemikian rupa agar bagi siapapun baik anak tunarungu maupun anak normal dapat meyerap ilmu yang ada di tayangan televisi bukan malah memberikan dampak negatif bagi tahapan dan tugas perkembangan sosialnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...