Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi oleh hukum yang dapat
menindak mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke
depan pengadilan harus mengikuti tiga aturan utama:
1.
The
rule of authentification;
2.
Hearsay
rule; dan
3.
The
Best Evidence rule.
Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam
sistem E-commerce. Masalah autentifikasi
misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsur?unsur origin dan
accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti (sistem
email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu
yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang
dapat mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan).
Termasuk pula untuk proses autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan?pernyataan di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai bukti. Di dalam dunia maya, hal-hal semacam email, chatting, dan tele?conference dapat menjadi sumber potensi entiti yang dapat dijadikan bukti.
Termasuk pula untuk proses autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan?pernyataan di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai bukti. Di dalam dunia maya, hal-hal semacam email, chatting, dan tele?conference dapat menjadi sumber potensi entiti yang dapat dijadikan bukti.
Namun tentu saja pengadilan harus yakin bahwa berbagai bukti tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Faktor best?evidence berpegang pada hirarki jenis bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan untuk meyakinkan pihak?pihak terkait mengenai suatu hal, mulai dari dokumen tertulis, rekaman pembicaraan, video, foto, dan lain sebagainya. Hal?hal semacam tersebut di atas selain secara mudah telah dapat didigitalisasi oleh komputer, dapat pula dimanipulasi tanpa susah payah; sehubungan dengan hal ini, pengadilan biasanya berpegang pada prinsip originalitas (mencari bukti yang asli).
Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki payung hukum, terutama di negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut :
1. Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki
akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
2. Pasal 9
2. Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik
harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
3.
Pasal 10
1. Setiap
pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi
oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
2.
Ketentuan
mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4.
Pasal 18
1.
Transaksi
Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
2. Para
pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya.
3. Jika
para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik
internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional.
4. Para
pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau
lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
5. Jika
para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
5.
Pasal 20
1.
Kecuali
ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat
penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui
Penerima.
2. Persetujuan
atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
6.
Pasal 21
1. Pengirim
atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang
dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
2. Pihak
yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
· jika
dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
· jika
dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
· jika
dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
3. Jika
kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik
akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala
akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
4. Jika
kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik
akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab pengguna jasa layanan.
5. Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan
terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik.
7.
Pasal 22
1. Penyelenggara
Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang
dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi
yang masih dalam proses transaksi.
2. Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Pasal 30
1.
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2.
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3.
Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
9.
Pasal 46
1. Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
3. Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008Tentang Internet & Transaksi Elektronika di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah :
1.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
2.
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
4.
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata
5.
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang
6.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
7.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
8.
Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
9.
Undang-Undang
Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
11. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
12. Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian
Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan.
Serta undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce ini.
B. Penegakan Hukum terhadap kegiatan dan kejahatan E-Commerce Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia
Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber berpangkal pada
keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan kepastian
hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyberlaw akan menjadi langkah general
preventif atau prevensi umum untuk membuat jera para calon-calon penjahat yang
berniat merusak citra teknologi informasi Indonesia dimana dunia bisnis
indonesia dan pergaulan bisnis internasional.
Penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan dalam menghadapi merebaknya cybercrime khususnya kejahatan e-commerce. Banyak faktor yang menjadi kendala, oleh karena itu aparatur penegak hukum harus benar-benar menggali, menginterpretasi hukum-hukum positif yang ada sekarang ini yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan e-commerce.
Penyelidikan dan penyidikan selalu mengalami jalan buntu dan atau tidak tuntas dikarenakan beberapa hal, yang terutama adalah terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh penegak hukum, karena penanganan kejahatan ini memerlukan keterampilan khusus dari penegak hukum.
Dalam menghadapi perkembangan di masyarakat, yang didalamnya termasuk juga tenologi, RUU KUHP tampak menyadari, hal ini ternyata dalam ketentuan pasal 1 Ayat (3). Dalam konsep RUU KUHP 1991/1992 Pasal 1 ayat (1) masih mempertahankan asas legalitas. Pada ayat (3) bunyinya : “ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Dari hal tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa ada kejahatan yang
dapat dijerat dan ada yang tidak, maka diperlukan adanya keberanian hakim untuk
menafsirkan undang-undang, walaupun hakim selalu dibayang-gayangi oleh pasal 1
KUHP, namun hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang telah masuk ke
pengadilan.
Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman, tertera jelas bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat. Dari ketentuan ini sesungguhnya mendorong bahkan memberikan justifikasi untuk interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan undang-undang, bahkan ada ancaman bila menolak dapat dituntut (dihukum). Dalam mengisi kekosongan Hukum, hakim untuk sementara dapat melakukan interpretasi.
Mengingat kejahatan e-commerce merupakan salah satu kejahatan baru dan canggih, maka wajar saja dalam penegakan hukumnya masih mengalami beberapa kendala yang apabila tidak segera ditangani maka akan memberikan peluang bagi pelaku kejahatan bisnis yang canggih ini untuk selalu mengembangkan “bakat” kejahatannya di dunia maya khususnya kejahatan e-commerce. Beberapa kendala tersebut antara lain :
a. Pembuktian (bukti
elektrik)
Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan penafsiran terhadap kepastian dari alat bukti elektrik ini dikarenakan alat bukti ini mudah sekali untuk di copy, digandakan atau bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan. Walaupun mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang ITE telah jelas menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang otentik.
Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan penafsiran terhadap kepastian dari alat bukti elektrik ini dikarenakan alat bukti ini mudah sekali untuk di copy, digandakan atau bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan. Walaupun mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang ITE telah jelas menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang otentik.
b. Perbedaan Persepsi
Perbedaan persepi yang dimaksud adalah bahwa terjadinya perbedaan antara penegak hukum dalam menafsirkan kejahatan yang terjadi dengan penerapan pasal-pasal dalam hukum positif yang belaku sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.
c. Lemahnya penguasaan komputer
Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum dibidang komputer yang mengakibatkan taktis, teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tidak dikuasai karena menyangkut sistem yang ada didalam komputer.
d. Sarana dan prasarana
Fasilitas komputer mungkin memang ada di setiap kantor-kantor para penegak hukum, namun hanya sebatas berfungsi untuk mengetik saja, sedangkan kejahatan e-commerce ini dilakukan dengan menggunakan komputer yang berjaringan dan berkapasitas teknologi yang lumayan maju sehingga pihak aparat sulit untuk mengimbangi kegiatan para pelaku kejahatan tersebut.
e. Kesulitan Menghadirkan korban
Terhadap kejahatan yang korbannya berasal dari loar negeri umumnya sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan yang mana keterangan saksi korban sangat dibutuhkan untuk membuat sebuah berita acara pemeriksaan.
Menurut Ahmad P Ramli (2005: 55-56) Terkait dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal adanya beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu :
a. Subjective
territoriality, yang menekankan
bahwa keberlakuan hukum pidana ditentukan berdasarkan tempat perbuatan
dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
b. Objective
territoriality, yang menyatakan
bahwa hukum yang berlaku adalah dimana akibat utamanya perbuatan itu terjadi
dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
c. Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
d. Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan dari
korban kejahatan.
Protective principle, yang menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.
Protective principle, yang menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.
e. Universalitity, bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku
kejahatan.
pelaku usaha dan pelanggan ecommerce di Indonesia bisa jadi lebih tenang berbelanja secara online dengan adanya status hukum ecommerce seperti ini ya.
BalasHapusyuk pencinta togel online
BalasHapusgabung bersama kami di togel terbaik dan terpecaya
Info lebih lanjut silakan hubungi CS kami..
Telp : +85581569708
BBM : D8E23B5C
Line : togelpelangi
Link: http://www.togelpelangi.com/