Berburu Kopi Toraja

Daratan Sulawesi sudah bukan rahasia lagi, memang menjadi tujuan petualangan yang mengasikkan. Ada Takabone Rate, Lore Lindu, Bunaken, Wakatobi, Bogani Nani Wartabone, dan Rawa Aopa Watuhohai. Jadi sudah pasti, suguhan pengalaman baru dan petualangan kelas satu bisa kita dapatkan dengan lengkap disana. Beberapa gunung juga sangat popular dikalangan para pendaki. Sebut saja, Bawakaraeng dan Latimojong. Siapa yang tidak tahu?
Namun, ada satu kekayaan alam yang banyak dilupakan orang di Sulawsi. Yah, Kopi. Selebes, khususnya Tana Toraja, terkenal sekali dengan kopinya. Coba saja masuk kedalam café-café di Jakarta yang menjual kopi. Mestilah kita menemui menu Kopi Toraja atau Kalosi Toraja.. Rasanya nikmat. 

Dan harganya lumayan mahal. Berkisar antara dua puluh lima ribu sampai ada yang membandrol empat puluh ribu rupiah secangkir. Fantastis bukan? Namun tahukah kawan, bagaimana kopi toraja itu dibuat sehingga rasanya serta harganya bisa fantastis?


Saya, berkesempatan terbang ke Sulawesi untuk melihat dari dekat bagaimana tahap-tahap pembuatan kopi Toraja. Dari pemetikan di ladang sampai proses selanjutnya yang, ternyata masih sangat tradisional.

Makassar, kota Pelabuhan
Perjalanan kami ke Tator berawal dari Makassar. Setelah menempuh penerbangan selama hampir 2 jam, pesawat mendarat mulus di Bandara Hasanudin. Bandara yang sangat bagus, setidaknya menurut saya. Kaca-kaca yang menjulang tinggi, seolah menyanggah atap. Serta pemandangan yang lepas keluar membuat sensasi lapang.

Malah ini, Makassar sedang ada pemadaman bergilir, begitu kata seorang sahabat yang menjemput kami di Bandara. Masalah politik local dan krisis listrik sedang terjadi disini, tambahnya. Namun begitu, malam di kota ini, tidak semeriah Jakarta tentunya. Hanya aktifitas pelabuhan yang tidak pernah sepi. Semburat warna-warna kuning memancar dari area pelabuhan. Lampu-lampu jalan masih berfungsi dengan baik, dan keremangan café-café dengan poster bir besar menyalakan lampu-lampu warna-warni yang menyala bergantian dan berputar. Khas daerah pekerja keras.

Hotel tempat kami transit terletak hanya sekitar 200 meter dari Pantai Losari yang terkenal. Ikon kota Ujung Pandang yang paling sohor di seluruh Indonesia. Dan tidak jauh dari situ, ada benteng peninggalan Belanda yang sangat mahsyur. Fort Roterdam.. Cerita mengenai dua tempat ini, ditambah satu lagi benteng peninggalan sultan Hassanudin yang sangat terkenal, saya ceritakan nanti ya. Biar penasaran.

Perjalanan Darat yang Panjang
Menuju Tana Toraja, atau Tanah Para Raja, dari makassar umum dilewati dengan jalan darat. Jaraknya lumayan jauh. Sekitar 8 jam. Dengan melewati enam kabupaten di Sulawesi Selatan.

Diawal-awal, jalanan aspal mulus akan kita lewati dengan mudah. Bangunan khas bugis, bisa kita jumpai disepanjang perjalanan. Siang itu, udara panas bukan kepalang. Maklum. Juni memang musim panas. Dan pastinya lebih panas dari Jawa, yang berada jauh dari garis edar imajiner bumi alias khatulistiwa. Memasuki kabupaten Maros, jalanan sudah mulai berlubang-lubang. Wah… ini awal perjalanan darat yang sedikit melelahkan.

Pembangunan jalan provinsi di Sulsel memang sedang terjadi. Jangan heran, menyaksikan jalan-jalan yang dicor sepotong dan sepotong nya lagi seperti kubangan. Inilah proses. Dan nikmatilah. Bahkan, saya menyaksikan sebuah truk pengangkut barang yang salah belok hingga terjebak di kubangan jalan.

Namun jangan salah, pemandangan Maros memang menakjubkan. Tebing-tebing cadas berdiri kokoh memanjang seolah tak ada ujung. Warna abu-abu dan hijau berpadu menjadi sajian menarik yang eksotis. Dan langit biru pada hari yang panas ini, nampak sangat indah. Ini baru di Maros..

Menjelang siang hari, kami sampai di Pare-pare. Sebuah Kabupaten yang berbatasan langsung dengan laut. Pulau-pulau kecil terserak dipinggirnya. Dermaga-dermaga kecil, berisi perahu-perahu tradisional. Beberapa nelayan masih melaut ditengah terik matahari. Kami memilih sebuah rumah makan dipinggir laut. Pemandangan laut lepas bisa dinikmati dari  balkon atas, yang ternyata juga sebuah penginapan. Menunya? Jangan salah, semua serba ikan. Ini yang membuat saya tidak bisa mencari alternatif makanan selain, Nasi Goreng.. Amaann…

Kemudian, perajalan dilanjutkan dengan jalan mulus disisi pantai. Batas pantai adalah jalan raya. Sore menjelang, namun pemandangan matahari terbenam belum bisa kami nikmati. Awan tebal  menggantung dicakrawala barat. Membentur batas laut. Namun semburat merah jingga masih bisa jelas kita saksikan. Keajaiban ciptaan Tuhan yang tidak ada bandingnya.

Enrekang,
Kerajaan Kopi Timur
Kabupaten terakhir sebelum Tana Toraja, adalah Enrekang. Kabupaten yang berada pada ketinggian lebih dari seribu meter dari permukaan laut. Udara sejuk menyapa kami sore itu. Perjalanan panjang dari makassar akan segera berakhir, pikirku. Namun, ternyata pak Robert, Driver yang membawa kami dari sana, mengajak kami menyaksikan sebuah pemandangan alam yang sangat menakjubkan. Gunung Nona, itu namanya. Atau Cagar Wisata Bambu Pua. Begitu tulisan yang terdapat disisi jalan menuju kesini.

Gunung Nona, adalah sebuah bukit yang menyajikan pemandangan mirip seperti bukit teletabis/gunung ayak-ayak di Bromo. Belukar rendah membentuk warna hijau muda, dengan pohonan cemara yang berjajar membentuk tautan rantai yang elok. Meski sudah sore, kami masih bisa menyaksikan seekor elang melintas rendah. Sebuah sungai berair deras nampak membelah tempat kami berdiri dan gunung nona.

Legenda bamboo pua memang asik untuk disimak. Gunung Nona sendiri, konon adalah kutukan dari seorang putrid kayangan. Dia dikutuk karena berselingkuh. Dan nama gunung nona sendiri, adalah sebutan local masyarakat, karena bagian dari gunung tersebut membentuk seperti –maaf- kemaluan perempuan. Entahlah…

Lokasi perkebunan kopi yang kami datangi, memang bukan di Tator, tapi masuk dalam kawasan kabupaten Enrekang. Namanya desa Tebing Alla.

Jangan mengharap melihat perkebunan kopi disini, seperti perkebunan the di puncak, Jawa Barat. Yang namanya perkebunan disini, adalah tanaman yang ditanam penduduk desa Tebing Alla, secara sembarang. Tidak ada lahan khusus untuk tanaman kopi mereka. Meski tetap dirawat dengan baik. Ada yang dipekarangan rumah, disamping, dibelakang, bahkan nun jauh dibukit yang tidak setiap hari ditengok.

Kami, ditemani kepala Desa Tebing Alla, berkeliling melihat dari dekat pemetikan kopi yang masih sangat tradisional. Kaum perempuan bekerja dengan semangat siang itu. Meski udara panas dan menyengat, mereka tetap semangat. Harum bau daun kopi, dengan butiran merah kuning dan hijau nampak memenuhi pandangan mata. Musim Panen, begitu kata pak kepala desa. Meski, bukan panen raya, namun sudah cukup membuat kami terpuaskan. Saya ikut sesekali, memetik butiran merah masak. Ini adalah cikal bakal kopi yang saya beli dengan harga Rp. 40.000,- di Jakarta secangkir, pikir saya.

Dari lokasi pemetikan, kami juga ikut melihat proses penguppasan kulit luar yang berwarna merah, fermentasi, penjemuran, sampai dengan penimbangan di koperasi yang ada dirumah Kepala Desa. Masyarakat disini, menitipkan hasil pertanian meraka ke koperasi, untuk kemudian dikirim ke Makassar. Selain untuk  menjaga harga kopi tetap stabil, juga pasti untuk lebih mempererat kerjasama memerangi pengijon-pengijon atau tengkulak-tengkulak nakal yang sering kali jahil.

Jangan pernah berfikir juga, bahwa desa Tebing Alla adalah sebuah desa gersang tandus dengan pemandangan semuanya kopi. Kenyataan nya, nama Tebing Alla, adalah juga nama sebuah gunung batu seperi meja yang memanjang seoalah membentengi desa tersebut. Dan pada jaman penjajahan dulu, menurut salah seorang penduduk, tebing ini, dipakai untuk tempat persembunyian. Jika dilihat dari jauh, jurang-jurang lurus dan  terjal, seperti tidak mungkin untuk didaki. Namun. Menurut beliau lagi, ada jalan untuk bisa sampai ke puncaknya. Sayang, saya belum punya waktu cukup untuk menyaksikan desa Tebing Alla, dari Tebing Alla.

Guyub nya masyarakat dengan anak-anak kecil yang lucu, selalu membuat suasana pedesaan khas Indonesia. Keramah-tamahan mereka membuat kami betah beralama-lama didesa ini. Apalagi, pak Desa, begitu kami memanggil bapak Kepala Desa, yang adalah seorang Sarjana Pertanian di salah satu perguruan tinggi di Makassar, dan memutuskan kembali membangun desanya, juga seorang yang sangat ramah. Jujur tepatnya. Dan tulus, yang pasti. Kami serasa menjadi tamu kehormatan disini.

Hingga pada hari terakhir, perjalanan kami di desa ini, kami diajak menyaksikan sebuah pemandangan alam menakjubkan. Sebuah lembah dengan gunung-gunung yang berbaris berjajar membentuk layer-layer yang saling bertaut. Awan putih yang ada dibawah level kaki kami, membuat kami sadar, bahwa kami berada pada ketinggian dataran. Sawah-sawah yang menghijau membentuk permadani lembut dikejauhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...